DPR RI Tegaskan Konsultasi Publik Wajib dalam Penyusunan Amdal

Jakarta – DPR RI menegaskan bahwa partisipasi publik, khususnya masyarakat terdampak langsung, tetap menjadi syarat utama dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Penegasan ini disampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Kamis (18/9).

Dalam penyampaian keterangan DPR RI melalui kuasa hukum DPR RI, Anggota Komisi III DPR RI Hinca I.P. Pandjaitan, mengenai perubahan dari izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan bukanlah pelemahan perlindungan lingkungan hidup, melainkan penyempurnaan sistem perizinan. Skema baru ini justru mempertegas kewajiban pelibatan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 hingga 34 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.

“Dengan adanya pengaturan ini, masyarakat yang terkena dampak langsung dipastikan mendapat prioritas dalam proses penyusunan Amdal. Hal itu karena mereka memiliki kepentingan hukum yang jelas, memahami kondisi lingkungan sekitar, dan mengalami langsung dampak kegiatan usaha,” terang kuasa hukum DPR RI dalam sidang.

DPR RI menegaskan bahwa ketentuan mengenai partisipasi publik tidak dihapus, melainkan diperkuat. Prinsip ini selaras dengan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam konteks pelibatan masyarakat, DPR RI menilai prinsip efektivitas dan efisiensi perlu dijaga. Artinya, partisipasi harus dimaknai proporsional, mereka yang terdampak langsung mendapat ruang utama, sementara aktor lain seperti LSM, pemerhati lingkungan, dan akademisi tetap bisa berperan melalui mekanisme tertentu.

Kuasa Hukum DPR RI juga menjelaskan penghapusan komisi penilai Amdal (KPA) yang digantikan dengan tim uji kelayakan lingkungan hidup, disebutkan bahwa sistem lama menghadapi sejumlah kendala, mulai dari beban kerja yang mencapai 1.500 dokumen Amdal per tahun, perbedaan standar penilaian di berbagai daerah, hingga tumpang tindih kewenangan yang memperlambat pengambilan keputusan.

Dengan hadirnya tim uji kelayakan yang berbasis keahlian bersertifikat, penilaian Amdal diharapkan lebih objektif, seragam, dan efisien. Mekanisme ini juga tetap membuka ruang bagi masyarakat pemerhati lingkungan yang telah menyampaikan saran dan pendapatnya dalam proses penilaian.

Lebih lanjut, DPR RI menegaskan pentingnya mendorong konsultasi publik sebagai kewajiban hukum dalam penyusunan Amdal. Dengan begitu, masyarakat dapat memberikan kontribusi sejak tahap perencanaan, bukan sekadar mengajukan keberatan setelah dokumen selesai.

“Bahwa ketentuan mengenai hak dan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 65 dan pasal 77 Undang-Undang PPLH tidak mengalami perubahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja.” Papar Kuasa Hukum DPR RI.

Melalui penegasan tersebut, DPR RI berharap polemik terkait dugaan pengabaian partisipasi publik dalam Amdal dapat terjawab. Sistem baru dianggap lebih berimbang antara kepastian hukum bagi dunia usaha dan perlindungan lingkungan hidup bagi masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *