Anggota Baleg DPR RI Minta Perjelas Status LPSK

Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Andreas Hugo Pareira, menegaskan pentingnya memperjelas status independensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penegasan itu disampaikan Andreas dalam Raker Panja Harmonisasi RUU tersebut di Ruang Rapat Baleg, Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12).

Dalam rapat yang turut menghadirkan Kapolri, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, serta Guru Besar Hukum Prof. Dr. Pujiyono Suwadi itu, Andreas menyoroti persoalan fundamental yang menurutnya belum dijelaskan secara tegas dalam draf RUU versi pemerintah, yaitu kedudukan LPSK dalam ekosistem penegakan hukum nasional.

Menurut Andreas, sejak awal pembentukan UU Perlindungan Saksi dan Korban pada periode pertama tahun 2005–2006, gagasan utamanya adalah memberikan payung hukum yang kuat bagi saksi dan korban, sebagai bagian dari agenda reformasi hukum. Ia mengaku mengikuti proses ini sejak dua dekade lalu ketika masih berada di Komisi III.

“Dua puluh tahun lalu, semangat kita adalah memperkuat perlindungan saksi dan korban sebagai bagian dari reformasi hukum. Tetapi implementasinya tidak berkembang seperti yang kita harapkan,” ujar Andreas.

Ia menilai selama ini LPSK tidak terlihat berperan secara optimal. Menurutnya, posisi LPSK sering kali kabur dalam hubungan bersifat institusi dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Hal ini membuat peran perlindungan saksi dan korban tidak mencapai efektivitas maksimal.

“Selama ini kita merasa LPSK tidak pernah benar-benar kelihatan berperan dalam perlindungan saksi dan korban. Padahal lembaga ini seharusnya jadi pilar penting. Karena itu, RUU ini harus menempatkan LPSK dalam kedudukan yang tepat dan diperkuat,” jelasnya.

Andreas menyoroti penjelasan pemerintah sebelumnya, bahwa LPSK tidak masuk dalam struktur criminal justice system (CJS). Menurutnya, hal ini justru membuat semakin penting untuk menegaskan bentuk kemandirian dan independensi lembaga tersebut. Ia meminta pemerintah menjelaskan secara rinci bagaimana status itu diterapkan dalam desain RUU.

“Kalau LPSK tidak masuk dalam sistem peradilan pidana, maka kita harus tahu apa bentuk independensinya. Bagaimana relasinya dengan polisi, jaksa, dan kementerian? Ini harus clear dalam pasal-pasal RUU,” kritik Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Ia menekankan, kejelasan struktur dan posisi LPSK bukan hanya penting untuk aspek administratif, tetapi juga krusial bagi pemahaman publik dan bagi aparat penegak hukum itu sendiri. Menurut Andreas, penjelasan mengenai mekanisme koordinasi, kewenangan, dan batasan lembaga harus secara eksplisit tercantum dalam RUU agar tidak menimbulkan dualisme atau konflik kewenangan.

“RUU ini harus menjelaskan kepada publik, di mana posisi lembaga ini. Bagaimana hubungannya dengan penegak hukum, bagaimana koordinasinya dengan lembaga negara lain. Jangan sampai RUU ini berjalan tanpa menjawab pertanyaan mendasar itu,” tambahnya.

Andreas menegaskan bahwa Baleg menginginkan LPSK tidak sekadar dicantumkan sebagai lembaga pendukung, tetapi memiliki otoritas penuh dan independen dalam menjalankan perlindungan terhadap saksi dan korban, termasuk dalam perkara-perkara besar yang rawan intimidasi.

Menurutnya, penguatan LPSK merupakan bagian dari upaya menjaga integritas proses peradilan serta memastikan keberanian saksi dan pelapor untuk menyampaikan kebenaran tanpa ancaman.

“Kalau negara serius melindungi saksi dan korban, kedudukan LPSK harus jelas, kuat, dan independen. Itu inti yang ingin kita pastikan,” tegasnya.

Raker harmonisasi RUU Pelindungan Saksi dan Korban ini masih akan berlanjut dengan pendalaman pasal per pasal bersama pemerintah dan pemangku kepentingan lain, termasuk LPSK, untuk memastikan kewenangan lembaga tersebut diperkuat dalam desain undang-undang yang baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *