Jamkeswatch Tolak Pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar

Jakarta – Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang semula akan diterapkan pada 1 Juli 2025 dan diundur menjadi 1 Desember 2025 oleh Kementerian Kesehatan masih menuai polemik panjang, pasalnya Serikat Buruh selaku salah satu stake holder lahirnya Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia tetap bersuara keras melakukan penolakan .

Gabungan serikat buruh dan elemen masyarakat lainnya menolak Pemberlakuan  KRIS bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai akan lebih mempersulit seluruh masyarakat, karena sudah pasti akan mengurangi layanan kesehatan di Rumah Sakit.

“Saat ini saja tanpa adanya KRIS masyarakat yang mengalami sakit dan membutuhkan ruang rawat inap sangatlah sulit, dan mengakibatkan penumpukan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD).” Kata Abdul Gofur, Sekretaris Eksekutif Jamkeswatch, pada Kamis (7/8).

“Saya tidak bayangkan dengan kriteria KRIS yg ditetapkan oleh Kemenkes kepada Rumah Sakit, akan menambah penumpukan pasien yang luar biasa di IGD, karena keterbatasan kamar rawat inap, mengingat sbelumnya banyak kelas tiga yang bisa menampung 6 pasien dalam satu kamar, dengan KRIS semua kamar hanya diisi oleh 4 orang.” Ujarnya

Gofur juga menyampaikan bahaya diberlakukannya KRIS kepada pasien Jaminan Kesehatan Nasional, akan menciptakan oknum-oknum jual beli kamar rawat inap kepada pasien yang membutuhkan ruang rawat inap, dengan alasan ruang untuk Pasien BPJS Penuh

“Kesulitan lainnya adalah dengan standar KRIS yang diberlakukan oleh Kemenkes, akan membuat banyak masyarakat tidak bisa terjamin oleh JKN, karena iuran peserta pasti akan dinaikan oleh Pemerintah, selain itu banyak Rumah Sakit yang melakukan PHK kepada para tenaga kesehatan, mengingat pelemahan kondisi keuangan perusahaan, karena biaya untuk melakukan investasi guna renovasi seluruh ruang rawat inap sesuai standar yang ditetapkan oleh Kemenkes sangatlah besar” Lanjut Gofur, yang juga sebagai Presiden FSP ASPEK Indonesia.

Gofur juga mengkhawatirkan Jika program KRIS berdampak pada kenaikan iuran peserta tentu akan banyak masyarakat yang selama ini menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari Pemerintah daerah dan pusat akan dinonaktifkan karena keterbatasan anggaran belanja pemerintah daerah yang akan membengkak.

“Kami dari Jamkeswatch harga mati menolak Pemberlakuan KRIS pada pasien JKN, karena kami para pekerja/buruh segmen peserta yang paling tertib membayar iuran dan cukup besar memotong upah kami juga dana perusahaan, tetapi layanan yang kami dapat bisa dipastikan akan menurun jauh.”  Tegas Gofur

Menurut Gofur KRIS yang akan diimplementasikan oleh menteri kesehatan bukti gagal pahamnya pemerintah dalam memahami amanat tentang standarisasi kelas yang diatur didalam UUD SJSN, atau lebih parahnya lagi kami menduga ada niatan bisnis yang akan dimainkan oleh Menkes agar perusahaan – perusahaan menambah jaminan kesehatan untuk pekerjanya dengan asuransi swasta selain JKN.

“Kami setuju dengan standarisasi pelayanan disemua rumah sakit, semisal pelayanan dan tindakan serta fasilitas kamar rawat kelas satu sampai dengan tiga semua standar dan sama antara Jakarta dan seluruh wilayah di Indonesia, bukan malah dijadikan kelas tunggal atau hanya ada satu kelas untuk seluruh peserta JKN.” Imbuhnya

Gofur selaku Sekretaris Eksekutif Jamkeswatch menyarankan kepada pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan kepada perbaikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan membangun rumah sakit baru di beberapa wilayah di Indonesia, agar kebutuhan akan layanan kesehatan bagi masyarakat bisa semakin luas, tidak menumpuk di rumah sakit yang ada selama ini. Gofur juga menegaskan akan melakukan aksi turun kejalan bersama afiliasi yang tergabung didalam KSPI menolak Pemberlakuan KRIS, Jika pemerintah tetap memaksakan Pemberlakuan KRIS pada pasien JKN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *